sehat tanpa obat

Minggu, 24 Oktober 2010

Bagamana Menjadi Guru Inspiratif?

Guru yang Menginspirasi
Oleh: SUHENDI - Kepala MA Uswatun Hasanah Padalarang, Kab. Bandung Barat
SEBENARNYA setiap orang bisa menjadi guru. Dan setiap guru mampu menginspirasi. Guru yang menginspirasi, membekas pada benak dan jiwa sepanjang hidup para peserta didiknya. Guru yang mampu menginspirasi inilah yang saat ini dibutuhkan negeri ini. Guru semacam ini mampu mengantarkan siswa pada kesuksesan dan kemajuan bangsa. Namun sangat disayangkan, guru yang bisa memberi inspirasi seperti itu jumlahnya sedikit. Guru yang banyak saat ini, guru yang hanya sekadar memberikan pengetahuan dan wawasan belaka. Guru yang berperan sebagai seorang pengajar dan tak dapat berperan sekaligus sebagai pendidik. Untuk mencapai kemajuan dan kesuksesan siswa, tentu saja dibutuhkan guru yang tak sekadar mengajar sesuai kurikulum, melainkan bisa menginspirasi sehingga mampu mengubah jalan hidup anak didiknya menjadi lebih baik.

Guru inspiratif adalah guru yang mampu menularkan pengetahuan dan sekaligus menggerakkan perubahan serta memengaruhi siswa. Jadi, guru inspiratif bukanlah sekadar guru kurikulum, tapi mampu mengembangkan potensi dan kemampuan siswa, berpikir kreatif dan mampu melahirkan siswa yang tangguh dalam menghadapi aneka tantangan dan perubahan.

Standar kesuksesan mengajar seorang guru inspiratif tak hanya diukur secara kuantitatif dari angka-angka yang diperoleh dalam evaluasi. Tapi bagaimana guru itu memberi sumbangsih yang berarti bagi siswa dalam menjalani kehidupan selanjutnya setelah selesai masa studi.

Menjadi guru inspiratif memang tak mudah. Diperlukan kerja keras supaya spirit inspiratif itu tetap ada. Namun, setidaknya spirit inspiratif bisa dibangun dengan tiga elemen; tekad (bertekad untuk selalu menginspirasi siswa), cinta (memiliki kecintaan dalam mendidik), dan memiliki tujuan jauh ke depan.

Dengan peran guru inspiratif yang memiliki tekad, cinta, dan tujuan itu, potensi dan minat peserta didik untuk menguasai pelajaran akan muncul. Selain itu, akan melahirkan peserta didik yang memiliki sikap dan semangat tinggi untuk sukses dalam hidup.

Guru inspiratif mempunyai karakter; semangat terus belajar, kompeten, ikhlas dalam mengajar, mendasarkan niat mengajar pada landasan spiritualitas, total, kreatif, dan selalu berusaha mendorong siswa untuk maju. Akhirnya, berapa pun dia dibayar dia akan tetap profesional dalam mengajar.

Guru inspiratif mampu membangun iklim pembelajaran dengan kreatif. Model dan media pembelajaran dibuatnya menarik perhatian. Peserta didik pun akan selalu merindukan guru semacam itu untuk terus hadir di kelas. Pembelajaran pun terasa begitu sebentar bagi peserta didik. Usai pelajaran, peserta didik pun mendapatkan pencerahan, termotivasi untuk melakukan perubahan dan pelajaran tertanam dalam. Lebih dari itu, siswa mengalami revolusi diri; cinta pada Tuhan, berubah lebih baik, mengenal bakat terpendam dan kreatif.

Guru inspiratif adalah guru yang mampu menggerakkan roda peradaban bangsa. Guru inspiratif akan membawa bangsa ke arah kemajuan. Ibu Muslimah dalam novel Laskar Pelangi merupakan salah satu guru inspiratif. Semoga saja akan lahir banyak guru inspiratif di negeri ini yang mampu membangun bangsa ini lewat jalur pendidikan. (sumber: www.klik-galamedia.com)
Bagamana Menjadi Guru Inspiratif?
Oleh: Hary
Ada artikel yang menarik yang ditulis oleh pakar manajemen Rhenald Kasali pada harian Kompas terbitan tanggal 29 Agustus 2007 dengan judul GURU KURIKULUM DAN GURU INSPIRATIF. Kutipanya yaitu : “Ada dua jenis guru yang kita kenal yaitu guru kurikulum dan guru Inspiratif. Guru kurikulum sangat patuh pada kurikulum dan merasa berdosa bila tidak bisa mentransper semua isi buku yang ditugaskan. Ia mengajarkan sesuatu yang standar (habitual thinking) dan jumlahnya sekitar 99%. Sedangkan guru inspiratif jumlanya kurang dari 1%. Ia bukan guru yang mengejar kurikulum tetapi mengajak murid-muridnya berfikir kreatif (maximum thinking). Ia mengajak murid-muridnya melihat sesuatu dari luar (thinking out of box) mengubahnya di dalam lalu membawa kembali keluar, ke masyarakat luas. Guru kurikulum melahirkan manajer-manajer handal, guru inspiratif melahirkan pemimpin-pembaru yang berani menghancurkan aneka kebiasaan lama.”


Melihat kondisi pendidikan/system sekolah umumnya di Indonesia, guru-guru memang terbelenggu oleh ketentuan administrative yang harus dipatuhi seperti target pencapaian kurikulum, ketuntasan belajar, silabus, RPP dan sebagainya. Sesuai dengan ketentuan yang ada bahwa wujud pelaksanaan pendidikan di sekolah tertuang dalam bentuk kegiatan intra kurikuler dan ekstrakurikuler. Dalam kegiatan intrakurikuler sangat jarang guru dalam interaksinya dengan murid-muridnya mampu mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki mereka. Padahal tujuan pendidikan yaitu pengembangan secara menyeluruh dari seluruh potensi anak didik melalui kreatifitas dan berpikir kreatif. Hal ini memperlihatkan bahwa pendidikan memiliki arti sebagai pengembangan potensi manusia. Dengan demikian proses pendidikan yang ada di sekolah mestinya tidak hanya melulu berorientasi pada aspek kognitifnya saja atau dengan kata lain lebih mengacu pada perolehan nilai tetapi juga harus bisa mengembangkan nilai-nilai lain seperti emosional, kepribadian, spiritual dan social. Akan tetapi yang terjadi di lapangan peran guru lebih banyak mengajar dari pada mendidik. Artinya ketika guru masuk ke ruang kelas maka yang dilakukan hanya menyampaikan materi yang ada di buku atau dengan kata lain bersifat curriculum oriented (terjebak pada kegiatan pencapaian target kurikulum), dan bersifat content oriented atau pencapaian tujuan kognitif yang malah jauh dari pencapaian tujuan pendidikan yang sebenarnya. Sedangkan pada kegiatan ekstrakurikuler pembinaan dan pengembangan potensi belum mendapatkan proporsi yang sewajarnya. Padahal kegiatan ekstrakurikuler diharapkan mampu mengembangkan potensi anak didik diluar potensi akademiknya. Sejatinya kegiatan ekstrakurikuler (baca: pembinaan kesiswaan) mengarahkan dan mengembangkan potensi anak didik untuk berwawasan masa depan (looking forward), memiliki keteraturan pribadi (self regulation) dan memiliki rasa kepedulian social yang baik (holy social sense). Bagaimana seharusnya peran guru? Kegiatan Intrakurikuler yang terjadi sekolah yang dilakukan oleh guru dan peserta didik sudah saatnya diubah paradigmanya. Perlu pendekatan lain yang dilakukan oleh guru ketika berinteraksi dalam proses pembelajaran. Selama ini guru lebih menekankan pada pendekatan intelektual/intelgensia atau hanya mengejar nilai. Sedangkan ketrampilan hidup dan bersosialisasi tidak diajarkan. Seorang anak dilihat berdasarkan nilai ulangan yang didapat bukan kemampuan diri secara keseluruhan. Kondisi ini dapat mendorong anak untuk mencontek atau melakukan usaha-usaha yang tidak baik karena tuntutan angka sehingga nilai-nilai pendidikan terabaikan. Menurut pendapat saya ada 3 pendekatan yang bisa dilakukan oleh guru dalam proses pembelajaran dikelas:


1. Melalui Pendekatan Kecerdasan Emosional
Otak manusia terdiri ari dua lapisan yaitu lapisan luar (neo cortrex) dan lapisan tengah (limbic system). Di wilayah lapisan luar otal, manusai -atas ijin Allah- mampu berhitung, mengoperasikan computer, mempelajari bahasa Inggris, dan perhitungan yang rumit lainnya. Melalui penggunaan otak neo-cortex inilah lahir intelegence quotient/IQ atau kemampuan intelektual (Ary Ginanjar A: Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power). Kecerdasa ini berkaitan dengan kesadaran terhadap ruang, kesadaran pada sesuatu yang tampak, dan penguasaan matematika. Sedangkan pada lapisan tengah otak (limbic system) terletak pengendali emosi dan perasan manusia yang memungkinkan manusia luwes dalam bergaul, penolong sesama, setia kawan dan bertanggung jawab. Perilaku inilah yang disebut kecerdasan emosional/EQ (emotional quotient) yang dapat dimaknai serangkaian kecakapan untuk melapangkan jalan di dunia yang penuh liku-liku permasalahan social. Pada ranah inilah saya pikir, guru bisa membangkitkan potensi anak didiknya untuk menempuh kesuksesan dengan mengembangkan rasa simpati dan empati pada sesama, sifat kerja keras dan bertanggung jawab. Menurut penelitian yang dilakukan oleh pakar psikolog yaitu Steven J. Stein dan Howard E. Book, bahwa IQ hanya berperan dalam kehidupan manusia dengan besaran maksimum 20%, bahkan hanya 6%. Jadi pendekatan emosional yang dilakukan guru terhadap siswanya ketika interaksi di kelas, bisa mendorong siswa untuk sukses dengan tidak hanya mengandalkan dari sisi IQ-nya saja. Pendekatan emosional yang bisa dilakukan misalnya dengan selalu menebarkan energi positif pada anak didik, toleransi terhadap ketidaksempurnaan, dan mencintai sepenuh hati anak didik dengan perbedaan yang dimiliki mereka.

2. Melalui Pendekatan Kecerdasan Spiritual
Pada ranah ini, pendekatan yang harus dilakukan oleh guru adalah meningkatkan potensi siswa dengan membangkitkan spiritual quotient dengan cara menanamkan/mengajarkan nilai-nilai kebenaran yang terkandung dalam agama. Pondasi dari kecerdasan spiritual adalah Ihsan. Ihsan berasal dari kata husn yang artinya sesuatu yang baik dan indah. Dalam pengertian umum bisa bermakna positif termasuk kejujuran, kebajikan, keindahan dan keramahan. Ihsan dalam belajar atau bekerja adalah bagaimana seseorang dapat belajar/bekerja dengan jujur dan amanah dan mengerjakan sesuatunya secara benar-sesuai peraturan yang ditetapkan. Jika Allah saja mengerjakan sesuatu yang indah dalam berhubungan dengan makhluknya maka manusia dituntut pula untuk berbuat kebaikan atau keindahan. Alhasil ihsan adalah berbuat baik seolah-olah seseorang melihat Allah. Saya pikir hal inilah yang bisa guru tanamkan kepada setiap anak didik/siswa bahwa setiap yang dilakukan oleh kita manusia adalah bernilai ibadah dan sebagai manusia harus bisa memberi manfaat bagi manusia yang lain.


3. Melalui Pendekatan Kecerdasan Sosial
Menurut Edward L. Thondrike kecerdasan social (socialintelligence) adalah kemampuan untuk saling mengerti sesama manusia dan bijaksana dalam hubungan sesama manusia. Dia menegaskan kecerdasan sosial berbeda dengan kemampuan akademik. Saat ini banyak tudingan terhadap dunia pendidikan dimana produk pendidikan kita adalah manusia-manusia yang biasa menyikut orang untuk mempertahankan kepentingannya karena kurikulum ternyata mendorong orang semakin cerdas sekaligus menyuburkan sikap-sikap individualistic alias mementingkan diri sendiri. Gaya hidup ini menghapus bersih sikap kerja sama, tenggang rasa, simpati, empati dan budi pekerti yang luhur. Bayangkan bila penguasa masa depan adalah produk dari dunia pendidikan seperti ini. William Chang, seorang pemerhati social menyebut fenomena ini menghasilkan manusia yang bereaksi lamban. Kelambanan bereaksi ditafsirkan akibat rendahnya kecerdasan sosial. Sisi inilah yang barangkali bisa digali dan dikembangkan oleh guru pada anak didiknya. Harus disadari bahwa latar belakang sosial anak didik berbeda-beda baik suku, bahasa, agama, bahkan tingkat ekonominya. Disisi lain manusia sebagai makhluk social tidak bisa hidup sendiri. Oleh karena itu penting kiranya mengembangkan sikap kerja sama, tenggang rasa, simpati, empati dan budi pekerti yang luhur pada setiap anak didik. Cara yang bisa dilakukan adalah dengan mempraktekan 5 S (senyum, sapa, salam, sabar dan syukur). Mudah-mudahan melalui 3 pendekatan ini, guru bisa menjadi inspirasi bagi setiap anak didik untuk bisa sukses dalam kehidupannya baik ketika dia bekerja maupun ketika menjadi pemimpin. (Sumber: http://harysmk3.wordpress.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar